Ketua Pemuda Pancasila Provinsi Papua Barat, Ferry Auparay

MANOKWARI — Ketimpangan infrastruktur daerah perkotaan dengan daerah pedalaman menjadi celah penyelewengan distribusi BBM bersubsidi. Demikian, ujar Ketua Pemuda Pancasila Provinsi Papua Barat, Ferry Auparay, Jumat (13/1).

Dia mencontohkan disparitas harga BMM bersubsidi di Pegunungan Arfak, Provinsi Papua Barat. “Suplai ke titik serah (lokasi, red) oleh Pertamina melalui vendor/pengusaha  atau distributor, terhalang sulitnya medan geografis,” katanya.

Menurut Ferry, kondisi ini dimanfaatkan para spekulan penimbun BBM bersubsidi yang diambil secara ilegal di SPBU-SPBU di dalam kota.

“Para sepkulan bermain masuk dalam pasar gelap BBM yang kebetulan merupakan salah satu produk utama penopang roda pembangunan di daerah terpencil, pesisir, dan lembah yang sangat sulit untuk dijangkau,” ungkapnya.

Ferry mengemukakan, salah satu langkah untuk menekan praktik pencurian BMM bersubsidi adalah perlunya pemerintah mengevaluasi keuntungan pengusaha pengelola BBM.

“Evaluasi agar bisa dicarikan kebijakan dalam penentuan keuntungan antara distributor di daerah perkotaan dan pedalaman,” ucap Ferry.

Kata dia, minimal ada kebijakan yang membedakan antara pengusaha di perkotaan dan pedalaman. Kalau keuntungan sama sebesar Rp200 per liter antara perkotaan dan pedalaman, ini akan membuka ruang penyelewengan BBM.

“BBM bersubsidi bisa dijadikan BBM industri. Selisih harga yang sangat besar dengan keuntungan yang besar pula,” bebernya.

Ferry menambahkan, biaya subsidi silang yang dialokasikan melalui APBN untuk biaya tansportir belum bisa menjawab permasalahan dalam distribusi BBM ke daerah-daerah terpencil.

“Perlu ada kebijakan untuk menentukan keuntungan. Mungkin bisa disebut margin daerah terpencil dan margin perkotaan atau umum,” pungkasnya. (***)

 

 

 

 

Click here to preview your posts with PRO themes ››