Dr Eka Widrian Suradji Klaim Kasus Pertama, Akibat Miskomunikasi
Kasus korban luka bakar asal Babo, Teluk Bintuni, Salwa Saputri (8) yang mencuat di media sosial beberapa hari belakangan, membuat Kepala RS Teluk Bintuni, dr. Eka Widrian Suradji, PhD, muncul di Manokwari.
Padahal, Salwa yang luka bakar stadium II itu sudah menderita sejak 3 Februari lalu. Saat itu dia dirawat di Puskesmas Babo. Tiga hari di sana, dia dirujuk ke RSUD Manokwari.
Uluran tangan pun sudah diberikan berbagai kelompok, termasuk dari Polres Manokwari.
Salwa yang sangat kesakitan itu harus dibius total dalam perjalanan selama dua jam dengan speed boat dari Babo ke Bituni, dan sembilan jam perjalanan darat dari Bintuni ke Manokwari.
Di RSUD Manokwari, tim dokter menyatakan Salwa harus dirujuk ke Makassar. Keluarga menyerah. Ketakmampuan biaya membuat Salwa hanya sehari dirawat RSUD Manokwari. Selebihnya, dia dirawat seadanya oleh neneknya dan keluarganya di kawasan Angkasa Mulyono, Manokwari.
Soal ini, Suradji mengatakan pihaknya sudah bertemu dengan pasien dan berkomunikasi soal penanganan lanjutan pasien. “Keluarga ingin ke Bintuni. Kebetulan dokter bedah sudah ada, jadi kita akan kembalikan ke sana. Kita tawarkan untuk ke luar daerah tapi keluarga minta di Papua Barat,” ujarnya pada pekerja pers di sebuah lobi hotel di Manokwari, Minggu (5/3).
Saat ini, kata Suradji, dia dan dua stafnya sedang mengurus penerbangan dan surat layak terbang pasien. “Kalau sudah jadi, kita bisa berangkat besok, atau paling lambat Rabu mendatang dengan pesawat,” ungkapnya.
“Ini luka bakar. Masa krisisnya 20 hari. Kita bersyukur pasien bisa melewati 20 hari masa krisis. Tingkat lukanya grade II medium. Luas luka 45 persen. Itu yang sedikit repot untuk anak usia 8 tahun,” ungkapnya.
Dia lalu mengatakan tidak berani jamin kalau di RS Bintuni. “Tapi dari kedalaman luka yang lebih dangkal dan beberapa penyembuhan pada bagian luka, saya cukup optimis,” tuturnya.
Rombongan Polres dan Bhayangkari saat menjenguk Salwa Saputri di kediamann neneknya di Angkasa Mulyono, Manokwari, Sabtu (4/3) lalu.
Menyangkut biaya, dia menyatakan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni siap membayar semua biaya, asalkan masih di dalam wilayah Indonesia. “Pemerintah akan tanggung sepenuhnya,” tegasnya.
MISKOMUNIKASI
Dia juga mengklaim Salwa merupakan kasus pertama yang terjadi di Bintuni. Menurutnya, selama ini semua pasien rujukan dari Bintuni mendapatkan penanganan dengan baik.
“Soal kesehatan, pemerintah Bintuni sangat peduli. Contohnya, kami rujuk pasien ke daerah Jawa, hingga sembuh. Itu berjalan dengan baik dan komunikasinya lancar. Sedangkan Saputri dirujuk dalam daerah namun bisa sampai hilang kontak. Ini terjadi miskomunikasi. Makanya, saya bilang ini menjadi kasus pertama di Bintuni,” tuturnya, lalu mengatakan hal ini tidak akan terjadi lagi.
Dia mengatakan di RS Bintuni tidak pernah mati lampu, karena ada dua disel rumah sakit yang siap operasi 24 jam. Selain itu, RS Bintuni berencana menambah dua dokter. “Kita sudah akreditasi perdana. Tahun ini kita kejar akreditasi reguler plus menambah dua dokter,” ungkapnya.
Selain itu, dia akan mendorong agar ada MoU antara semua RS di Papua Barat, agar terjalin komunikasi satu pintu.(Enjo)