Novi Hematang.

Kelompok kerja (Pokja) masyarakat sipil untuk keadilan ruang hidup adat dan perlindungan hutan Papua Barat mengadvokasikan agar Perda tentang RTRWP Papua Barat bisa mengakomodir banyak hal yang belum terakomodir di dalamnya.

Koordinator Pokja itu, Novi Hematang, mengatakan sampai saat ini, pemerintah hanya mengakomodir kebutuhan pemerintah dan mengabaikan hak masyarakat adat.

“Hampir seluruh masyarakat Papua berinteraksi dengan wilayah hutan. Hak hukum adat. Itu yang mereka bangun dan menganggap bahwa hutan adalah milik mereka,” ujar Novi dalam konferensi pers, Kamis (14/12) sore.

Kata dia, pada akhir tahun 2016, pemerintah pusat telah mengakui dan menetapkan 9 hutan adat, dan pada 2017 kembali menetapkan 9 hutan adat. Tak ada satu pun berada di Papua dan Papua Barat.

Padahal, secara luasan, kawasan hutan di Papua Barat merupakan 7,28 persen dari kawasan hutan di Indonesia. Itu sama dengan luas 8.789.824 ha.

“Dengan luasan tersebut, masyarakat adat seharusnya diberi kesempatan untuk memiliki hak dan wilayah kelola atas hutannya,” ungkapnya.

Menurutnya, pada awal tahun ini, pemerintah menerbitkan PP Nomor 13/2017 tentang rencana tata ruang wilayah nasional.

Salah satu strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam PP tersebut adalah menetapkan fungsi lindung sebesar 70 persen untuk pulau Papua.

“Tahun 2018 adalah momen terbaik untuk implementasi pp tersebut. Alasannya, karena peraturan daerah tentang RTRWP Papua Barat akan memasuki tahun ke lima. Berdasarkan PP No 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang, RTRWP dapat ditinjau kembali setelah lima tahun.

Sulfianto, salah satu personil tim penyusunan arahan kebijakan pada Pokja itu mengatakan, substansi Perda Nomor 4 tentang RTRWP Papua Barat belum jelas, dan tidak selaras dengan peta RTRWP Papua Barat.

Click here to preview your posts with PRO themes ››

Sulfianto.
Sulfianto.

Dia menyebutkan, pasal 32 tentang pola ruang lindung menyatakan kawasan sempadan sungai, pantai, kawasan sekitaran danau, dan waduk digolongkan dalam kawasan perlindungan setempat dalam pola ruang lindung.

Namun, nyatanya, pada lampiran peta RTRWP Perda tersebut tidak mengakomodir kawasan tersebut. “Luasan lahan yang dilindungi serta letaknya secara geografis juga tidak disebutkan dalam Perda tersebut. Sehingga, dalam pemanfaatan ruang hidup dapat digunakan sebagai kawasan dengan fungsi budidaya,” ungkapnya.

Persoalan lain, tambah Sulfianto, Perda tersebut belum mengakomodir ruang hidup masyarakat hukum adat di Papua Barat.

Padahal, MRP PB memiliki hak untuk melakukan peninjauan kembali Perda yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak orang asli Papua. Namun, hal tersebut belum dilakukan secara optimal.

“Satu hal lain yang menjadi titik permasalahan saat ini adalah belum adanya landasan hukum untuk pemberian hak pengelolaan kepada masyarakat adat. Padahal, setiap skema pengakuan hak terhadap wilayah adat yang ditawarkan oleh pemerintah harus dilandasi produk hukum,” tandasnya.(njo)