Sembilan kareth (marga, red) dari Suku Doreri dan 3 suku besar Arfak menyegel Pintu I Pelabuhan Laut Manokwari, Senin (18/12) sejak pukul 15.00 WIT sore tadi.
Pemalangan dengan bambu hingga membakar ban bekas itu terjadi karena mereka menuntut pembayaran hak adat atas penggunaan pelabuhan laut Manokwari di atas wilayah adat, yang sejak jaman Belanda hingga saat ini belum dibayar. Tidak hanya pelabuhan, kantor Pelindo juga dipalang. Sejumlah spanduk juga terpampang di lokasi pemalangan.
“Pemalangan ini bukan rencana dari 9 kareth di suku besar Doreri, tetapi bagian dari rasa kekecewaan karena mediasi pada tanggal 19 mei 2017 yang dihadiri 9 kareth suku besar Doreri, yang saat itu dihadiri oleh Korneles Yoku, Manager Operasi PT Pelindo Wilayah IV belum terjawabkan,” ujar Sekretaris Umum Dewan Adat Suku (DAS) Doreri, Korneles Gustav Rumbekwan, SE.
Kata Rumbekwan, pada tanggal 21 Agustus 2017, mereka 9 kareth Suku Doreri melakukan pertemuan dengan Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacanan. Dalam pertemuan itu, Gubernur katakan bahwa, selesaikan persoalan itu, karena itu adalah hak 9 kareth.
“Kami salut dengan jawaban Gubernur. Hasil pembicaraan dengan Direktur Pelindo di Makassar via ponsel juga beliau sambut dengan senang hati. Bahkan, kami juga sudah koordinasi dengan tiga kepala suku keturunan Arfak, yang mana hasil pertemuan itu disepakati bahwa hak adat Suku Doreri dan Arfak dibagi dua,” ungkapnya, lalu mengatakan kecewa karena sampai saat ini, apa yang dibahas itu belum juga terealisasi.
“Waktu koordinasi dengan Sekda Papua Barat, beliau katakan bahwa akan berupaya agar suku Doreri dan Arfak mendapat panjar atas hak adat pelabuhan. Namun sampai saat ini belum ada,” ungkapnya.
Rumbekwan kemudian menegaskan bahwa jika tidak ada pihak Pelindo maupun Pemerintah yang bertemu dengan mereka hingga pukul 24.00 WIT, maka mereka akan melanjutkan pemalangan pada pintu II Pelabuhan Manokwari.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Sampai sekira pukul 18.45 tadi palang belum dibuka.(njo)