Kisah kehidupan masa kecil Dominggus Mandacan, kini Gubernur Papua Barat 2017-2022, sangat layak dijadikan success story bahwa pendidikan dan tekad serta komitmen kuat merupakan hal sangat penting dalam kehidupan.
Gubernur bercerita saat usianya sudah 12 tahun dia masih tercatat sebagai siswa kelas 1 SD Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Fanindi, Manokwari medio 1969 lalu.
Fakta itu membuat Dominggus Mandacan cilik jadi korban bully alias ejekan.
“Besar baru kelas 1 lagi (Sudah besar tapi masih kelas 1, red),” ujar Gubernur dalam peringatan HUT ke-56 YPK di SD YPK Pasir Putih, Manokwari, Kamis (8/3).
Bully lain yang kerap diterima Dominggus cilik adalah fakta bahwa dia belum bisa membaca saat masih kelas 1 SD itu.
“Saya baru bisa baca saat kelas 2,” papar Gubernur.
Dia juga kerap diejek karena kadang hanya cuci muka saat pergi ke sekolah.
Semua bully itu tak membuat Dominggus cilik patah arang atau hilang semangat. Dia malah menjadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk meraih kesuksesan dalam pendidikan dan karirnya.
“Ejekan itu tidak pernah membuat saya marah. Saya bahkan tidak suka marah. Itu semua saya jadikan motivasi,” kenang Gubernur.
Dominggus cilik sebenarnya sudah bersekolah di SD YPK Fanindi sejak tahun 1964. Namun, saat itu, karena harus ikut orang tua dan persoalan lainnya, sekolahnya terputus. Dia sekolah lagi pada 1969, dan harus kembali belajar di kelas 1.
Gubernur bercerita, di tahun 1964 itu SD YPK Fanindi menggunakan gedung Gereja Efrata Manggoapi. Kala itu, tidak ada sekat pemisah antara kelas 1-6. Mereka belajar dalam satu ruangan besar yang hanya dipisahkan oleh sudut ruangan.
Usai belajar hari Sabtu, semua siswa harus mengeluarkan meja belajar, karena gedung gereja dipakai untuk ibadah di hari Minggu. Saat hari Senin, meja harus dikembalikan ke dalam gedung sekolah.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Di tahun 1969 SD YPK Fanindi pindah ke gedung asrama yang tidak jauh dari lokasi SD YPK Fanindi saat ini.
Namun, aktivitas yang sama bahkan lebih berat juga terjadi.
“Saat itu kita gunakan kursi dari gereja. Sehingga harus dikembalikan ke gereja. Hanya dua sekolah YPK yang memiliki gedung bagus kala itu, yakni SD YPK Fanindi dan SD YPK Kota,” tutur Gubernur.
Saat sekolah Gubernur mengaku komitmen untuk tidak pacaran hingga lulus sekolah. Sedangkan teman teman lainnya justru saat pulang sekolah selalu jalan berpasang-pasangan.
“Ternyata benar, sampai lulus SD saya tidak pacaran. Lulus SMP, SMA bahkan IPDN dan kuliah IP di Jakarta, saya tidak pacaran. Padahal waktu di Jakarta, ada teman orang Batak yang mau dekat, tapi saya bersitegas tidak akan pacaran sebelum mendapatkan pekerjaan,” terangnya.
Lulus sarjana dan bekerja di kantor Bupati Serui, Gubernur mengaku bertemu dengan sang istri tercinta yang saat itu juga bekerja di kantor Bupati Serui.
“Dari situ saya kenalan, pacaran dan langsung masuk minta (melamar, red). Saya sudah siapkan rumah dan perabotannya sebelum memberanikan diri untuk melamarnya,” tutur Gubernur.
Gubernur berharap kisahnya bisa dijadikan pembelajaran bagi anak-anak sekarang yang dalam proses menimba ilmu, agar memikirkan pendidikan sebagai hal yang paling penting sebelum memikirkan yang lainnya.
“Selama menempuh pendidikan. Saya termasuk murid yang paling rajin. Guru-guru kala itu juga sangat disiplin, jadi anak murid segan dengan guru,” tandas Gubernur.(njo)