Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Papua Barat mengejar pembentukan koperasi nelayan di seluruh DPC HNSI kabupaten/kota di Papua Barat, karena dinilai sebagai salah satu solusi untuk menstabilkan harga ikan.
Ketua HNSI Papua Barat, Fery Auparay mengatakan hasil penelusuran menunjukkan mahalnya harga ikan karena nelayan tidak menjadi pionir dalam menentukan harga ikan, melainkan tengkulak, yang membiayai seluruh kebutuhan sekali melaut sekira 3 juta.
Setelah melaut, hasil itu diambil tengkulak dan dijual. Hasil penjualan dipotong dengan modal tiga juta lalu dibagi tiga antara penjual ikan, nelayan dan juga tengkulak.
Itu artinya, standar harga ikan ditentukan oleh tengkulak dari hasil mancing nelayan. Belum lagi ketika ditambahkan dengan ikan yang dikirimkan untuk dijual ke luar Manokwari.
“Nelayan di sini tidak menentukan sendiri harga ikan. Hanya beberapa saja. Di sisi lain total cost yang keluar pun besar. Apalagi tidak ada koperasi. Es batu yang kebutuhan utama nelayan di laut harus dibeli dengan harga Rp 2000 dengan ukuran kecil,” ungkapnya.
Rantai ini menjadi salah satu penyebab harga satuan ikan mahal.
Masalah lain, dalam 10 tahun terakhir PPI di Sanggeng tidak ada pabrik es dan penyimpanan. Ini penyebab es menjadi mahal di kalangan penjual.
“Ini juga memberatkan nelayan. Ini yang menjadi mimpi HNSI untuk bentuk koperasi di kabupaten/kota. Kita sudah koordinasi untuk akta notaris pembentukan koperasi secara kolektif. Kita akan bawa akta itu di Raker HNSI di Kaimana,” ungkapnya.
Lewat koperasi itu nelayan bisa bekerja sendiri dan menjadi penentu harga ikan, menyetorkan hasil tangkapan dan mengambil keperluan lewat koperasi. Koperasi juga yang beli ikan dan distribusi kepada pekerja yang khusus penjual ikan.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
“Bola belum di tangan nelayan. Kita upayakan bola di tangan nelayan agar harga ikan stabil. Nelayan pun sejahtera,” tandasnya.(njo)