Penulis: Hendrik Akbar
Kembali lagi ke jalur ‘menyeramkan’ jalan berlumpur di jalur trans Papua Barat yang 50:50, alias bisa atau tidak dilalui, di Distrik Tahota, Kabupaten Manokwari Selatan, Papua Barat.
Sabtu (15/6/2019) malam, 28 kendaraan gardan ganda alias 4-wheel drive (4WD) dan 12 truk tertahan di lokasi yang jaraknya sekira 135 kilometer dari Manokwari itu.
‘Tradisi’ gotong royong saling tarik kendaraan pun terjadi di kubangan yang oleh masyarakat setempat disebut lumpur bebek tersebut.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Bila cuaca buruk, terutama sehabis hujan, butuh waktu berjam-jam untuk melewati ruas jalan sekira 3-5 KM itu. Jika cuaca bagus, alias tidak hujan, hanya butuh waktu 15 menit.
Sopir yang memberanikan diri dari Kabupaten Teluk Bintuni menuju Manokwari Selatan, atau sebaliknya, akan berupaya menembus kubangan lumpur itu, dengan konsekuensi mobil bisa terjebak lumpur.
Sopir yang tak mau ambil resiko akan menurunkan penumpang tujuan Teluk Bintuni di camp sebuah perusahaan kayu di Distrik Tahota. Dari situ penumpang berjalan kaki menuju batas akhir lokasi lumpur dan menunggu kendaraan menuju Bintuni. Begitu sebaliknya yang dari arah Bintuni.
Penumpang dari Manokwari, dan sebaliknya, dipungut biaya Rp1,5 juta sampai di lokasi ini. Selanjutnya, dari lokasi itu ke Bintuni atau ke Manokwari, penumpang harus kembali merogoh kocek Rp1,5 juta. Total Rp3 juta per penumpang.
Malam itu saya dan tujuh rekan memberanikan diri berjalan kaki menelusuri jalur tersebut, setelah mobil yang kami tumpangi berhenti dekat camp perusahaan kayu tersebut. Saat itu waktu sekira pukul 20.15 WIT, dengan kondisi tidak hujan.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Kami berjalan kaki di bawah sinar bulan sembari melihat puluhan sopir mobil yang berupaya membebaskan mobil yang terjebak di situ.
“Kami sudah dari sore, kira kira jam 16.00 WIT,” kata seorang sopir mobil 4WD.
Terpantau tak ada kendaaraan berat di lokasi. Mungkin sudah malam sehingga alat berat tidak beroperasi.
Entah apa yang terfikirkan masyarakat ketika harus berjalan kaki melewati jalan itu di tengah gelapnya malam, menyusuri hutan, tak ada pedagang dadakan apalagi kios. Masyarakat harus siap dengan bekal sendiri bila terpaksa harus berjalan kaki melewati tempat tanpa penerangan itu.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Di perjalanan kami melihat ada sebuah mobil pecah ban. Sopir mobil lain berupaya membantu menarik mobil itu dari jebakan lumpur.
Perjalanan dilanjutkan sampai mendapatkan kendaraan yang siap mengantarkan kami ke Bintuni.
Tak jauh di depan kami ada satu truk dan satu mobil 4WD yang terjebak lumpur. Sopir mobil yang kami tumpangi berhenti, lalu membantu menarik dua mobil itu.
Hanya satu yang bisa tertarik, yaitu mobil 4WD. Truk yang memuat bahan pokok tak bisa tertarik karena bobotnya yang lumayan.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Sopir kami mengatakan saling bantu di perjalanan sangat penting, karena tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti mobilnya yang akan terjebak lumpur.
Sampai di jalan pengerasan tetap tak dijumpai kendaraan berat.
Perjalanan menuju Bintuni masih tak mulus. Mobil harus ganti kanvas rem di ruas jalan depan kantor Bupati Bintuni.
Saya dan rekan-rekan akhirnya tiba di sebuah penginapan di Bintuni, sekira pukul 02.00 WIT Minggu (16/6/2019) dinihari, setelah memulai perjalanan sekira pukul 15.00 WIT sehari sebelumnya dari Manokwari untuk menempuh jarak sekira 200 KM itu.(***)