Indeks Ketahanan Pangan 2018 menunjukkan 81 dari 461 (19%) kabupaten masuk kategori rentan pangan pada tingkat serius. Sebagian besar kabupaten itu ada di Papua, Papua Barat, Maluku dan Nusa Tenggara.
Wakil Bupati Raja Ampat, Manuel Piter Urbinas SPi MSi dalam keterangan persnya yang diterima papuakini.co memperkirakan kondisi ini akan memburuk di tengah pandemi Covid-19.
“Bukan karena panen gagal atau buruk tapi karena kebijakan negara-negara pengekspor pangan yang lockdown,” tuturnya.
Alumnus Teknologi Penangkapan Ikan AUP Jakarta 1994 ini mencontohkan Vietnam yang menutup keran ekspor beras untuk melindungi kebutuhan dalam negerinya.
Vietnam dan Thailand adalah pengeskpor utama beras ke Indonesia. Dua negara ini adalah pemain besar dalam perdagangan beras lintas negara.
“Sepiring nasi yang kita konsumsi tiap hari sangat bergantung pada panen beras di luar Tanah Papua. Pada stok beras di gudang Bulog, dan sangat bergantung pada Kementerian Perdagangan yang mengeluarkan izin impor beras,” ingat jebolan Fakultas Perikanan IPB Bogor 2000 ini.
Jawaban atas masalah yang mengancam ini, menurut alumnus Teknik Kelautan Pasca Sarjana IPB Bogor 2004 ini, adalah pemanfaatan pangan lokal masyarakat Papua Barat seperti
sagu, kasbi, dan petatas yang biasa dikonsumsi moyang kita sebelum mengenal beras.
Mantan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat 2012-2015 ini menegaskan, secara kultural mama-mama Papua bukan petani yang lihai menggarap sawah, tetapi sangat telaten menanam dan mengolah sagu jadi papeda.
Gerakan masif menanam dan mengkonsumsi pangan lokal Papua Barat ini juga akan membantu meningkatkan pendapatan mama-mama Papua di pasar.
“Gerakan konsumsi pangan lokal Tanah Papua harus segera kita mulai di Raja Ampat. Mari kita ke pasar membeli pangan lokal yang dijual mama-mama kita, sambil tetap menerapkan protokol kesehatan, memakai masker, dan menjaga jarak selama di pasar,” tandas Urbinas yang juga Ketua Nasdem Papua Barat ini.(*/dixie)
Click here to preview your posts with PRO themes ››