Oleh: Sanusi Rahaningmas
Anggota DPD RI Dapil Papua Barat.
Mantan anggota DPR PB tiga periode.
Perjuangan untuk mengangkat pegawai honorer dan penerimaan CPNS di Papua Barat cukup lama diperjuangkan sejak kepemimpinan Jimy D Ijie sebagai Ketua DPR Papua Barat.
Perjuangan dari tahun 2011 dari pergantian menteri ke menteri hanya berjanji dari waktu ke waktu. Pada tahun 2016 Wakil Gubernur Papua Barat (kala itu) Irene Manibuy, Sekda PB, Kepala BKD, Ketua MRP PB dan Ketua DPR PB, dan Ketua Fraksi Golkar, Hanura, dan Kebangkitan Bangsa (saya sendiri) ingin bertemu dengan Menteri. Tapi karena kesibukan menteri saat itu sehingga dispo menteri untuk ketemu dengan deputi, tapi kita menolak dan sengaja bikin ribut. Akhirnya menteri pun bisa bertemu dengan rombongan Papua Barat yang dipimpin Wagub saat itu.
Dalam pembicaraan sudah disampaikan terkait kuota 80% OAP dan 20% Non OAP, juga hasil seleksi kalau bisa khusus untuk OAP passing grade tidak boleh sama dengan nasional.
Sekiranya standar kelulusan nasional harus pada angka 80 maka khusus OAP berada pada angka 60. Atau, khusus Papua dan Papua Barat dilakukan tes secara offline dan diserahkan ke daerah untuk menentukan hasil kelulusan.
Tapi kebijakan itu tak kunjung datang.
Pada 2018 kami mendampingi Gubenur Papua Barat Dominggus Madacan, Sekda PB, Ketua MPR PB, Ketua DPR PB, tiga ketua fraksi, dan Kepala BKD dan stafnya bertemu Menpan membicarakan hal sama.
Saat itu ada beberapa hal yang disampaikan menteri terkait hal tersebut khusus untuk Papua dan Papua Barat, antara lain:
1. Penerimaan CPNS secara umum.
2. Pengangkatan khusus honorer dengan test formalitas.
3.Pengangkatan khusus pegawai non PNS, termasuk honorer yang belum terangkat. Artinya kelompok ini diangkat jadi PNS dengan SK Menteri tapi tidak dapat pensiun.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Saat itu Menteri meminta Kepala BKD mempersiapkan data pegawai honorer dengan baik dan benar. Tapi kenyataanya hasil pengangkatan menuai pro kontra.
Yang jadi buah simalakama adalah ketika tes CPNS secara online, anak OAP banyak terbentur karena standar nilai kelulusan. Kalau kembali menjadi keputusan Pemda masing-masing, dikhawatirkan terjadi KKN, sehingga tetap yang menjadi korban adalah OAP, juga anak-anak Nusantara yang lahir, besar, dan sekolah di Papua Barat, akibat titipan-titipan dari oknum-oknum pejabat.
Bahkan tidak menutup kemungkinan ada juga pihak-pihak lain dari keluarga oknum-oknum pejabat yang menintervensi pengambilan keputusan tersebut.
Para pejabat harus melihat hal itu agar jangan menimbukan keresahan yang mengakibatkan gangguan Kamtibmas di Papua Barat.
Salah satunya adalah informasi tak ada satu pun dari sekira 89 tenaga honorer dari Dinas PUPR PB yang masuk daftar 1.283 honorer yang diangkat.
Hal itu harus dijelaskan karena mereka juga punya hak sama dengan honorer yang lain.(***)