Lembaga Pemantau Pemilu atau Pilkada Papua Forest Watch mengajukan gugatan Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Raja Ampat tahun 2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan tersebut telah diterima dan terigister di MK pada tanggal 18 Januari 2020 dengan nomor 17/PAN.MK/ARPK/01/2021 (bukan nomor 17/PAN.MK/AP/12/2020 seperti ditulis sebelumnya, Red), dan akan disidangkan pada tanggal 28 Januari 2020.
Dalam permohonan tersebut, Pjs Ketua Papua Forest Watch Richarth Charles Tawaru selaku pemohon meminta MK untuk membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Raja Ampat nomor 75/HK.03.1-Kpt/9205/KPU-Kab/XII/2020 tentang Penetapan Hasil Perhitungan Suara dan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Raja Ampat tahun 2020 tanggal 15 Desember 2020.
Selain itu, pemohon juga meminta MK untuk memerintahkan KPU Raja Ampat untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang di seluruh TPS di 24 Distrik di Kabupaten Raja Ampat dengan mengikutsertakan Pemohon sebagai Pemantau Pilkada.
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Rullyandi SH MH mengungkapkan, Pilkada Kabupaten Raja Ampat tahun 2020 merupakan Pilkada dalam keadaan khusus karena hanya diikuti pasangan calon tunggal, yaitu Calon Bupati Abdul Faris Umlati yang berpasangan dengan Calon Wakil Bupati Oridek Iriano Burdam.
Oleh karena itu, menurutnya, harus ada Lembaga Pemantau untuk mewakili kepentingan hukum Kolom Kosong. Namun pada kenyataannya, pemohon tidak diberikan legal standing oleh KPU Raja Ampat (termohon) untuk dilibatkan sebagai Pemantau Pilkada.
“Maka sesuai dengan peraturan perundang undangan, Pilkada dalam keadaan khusus, di mana hanya ada calon tunggal wajib mengikutsertakan pemantau sebagai bagian dari proses tahapan Pilkada, dari mulai pemungutan suara, hingga perhitungan sampai rekapitulasi suara selesai,” ungkapnya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (19/01/2021)
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Muhammad menjelaskan pemohon sebagai organisasi kelembagaan memenuhi semua syarat sebagai lembaga pemantau Pemilu atau Pilkada.
“Dengan tidak diterimanya Papua Forest Watch sebagai Pemantau Pilkada Raja Ampat, kami melihat ini sebagai perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh KPU. Hal ini juga merupakan pelanggaran Pilkada yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif,” tegasnya.
Selain tidak dilibatkannya pemohon sebagai Pemantau Pilkada, ada 16 pelanggaran Pilkada lain yang mendasari pemohon menggugat ke MK.
“Pelanggaran sangat signifikan, seperti penyelenggara tidak melakukan tugas dengan baik, adanya money politik, ada KPPS mencoblos lebih dari satu kali, intimidasi, keterlibatan ASN, dan banyak lainnya,” tuding Muhammad.
Selain menggugat ke MK, Papua Forest Watch juga telah melaporkan pelanggaran dan kecurangan Pilkada Raja Ampat ke Bawaslu RI dan DKPP RI.
Tawaru optimis MK akan mengabulkan seluruh permohonan karena pihaknya telah mempersiapkan seluruh bukti yang akan disampaikan di hadapan majelis hakim.(wan)