Baru Raja Ampat Lindungi Dengan Perda
TIGA dari sembilan spesies hiu berjalan (walking shark) dunia ada di perairan Papua Barat. Ketiganya spesies endemik, alias hanya ada di wilayah bersangkutan.
Mereka adalah Hiu Berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti), Hiu Berjalan Teluk Cendrawasih (H. galei), dan Hiu Berjalan Teluk Triton Kaimana (H. henryi).
Selain di Papua Barat, dua spesies hiu berjalan lainnya juga ada di perairan Indonesia, Hiu Berjalan Halmahera (H. halmahera) yang endemik, dan H. trispeculare di perairan Aru Maluku. Namun H. trispeculare hidup juga di pantai utara dan barat Benua Australia.
Mengapa disebut sebagai Hiu Berjalan? Menurut situs Beritagar.id, bukan memiliki kaki, tapi hal ini lebih karena gerakan sirip-siripnya di dasar laut seperti melata atau berjalan. Utamanya mereka mendiami perairan dangkal, dan umumnya bisa dilihat pada malam hari.
Kelompok Hiu Berjalan secara taksonomi sering disebut dengan Hiu bambu (bamboo shark) dan termasuk dalam genus Hemiscyllium.
Hiu Berjalan jenis Hemiscyllium freycineti, ditemukan pertama kali di Raja Ampat pada tahun 1824. Pada tahun 2008, H. henryi ditemukan di perairan Kaimana, dan H. galei ditemukan di Teluk Cenderawasih. Sedangkan H. halmahera ditemukan perairan Halmahera pada 2013.
Temuan terbaru ini merupakan hasil kerja sama yang dilakukan Conservation International (CI) bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Western Australian Museum, dan California Academy of Science.
Hasil studi yang dilakukan terhadap sembilan spesies hiu berjalan, sementara ini menyimpulkan bahwa daerah sebaran kesembilan spesies hanya terbatas di wilayah cincin utara Benua Australia, Papua Nugini, Perairan Papua Barat, Halmahera, dan Aru.
Temuan ini merupakan perkembangan hasil temuan sebelumnya. Saat itu studi menunjukkan bahwa daerah sebaran Hiu Berjalan luas dari bagian utara Benua Australia, Papua Nugini, hingga Seychelles di Samudera Hindia, dan Pulau Solomon di Pasifik.
Monitoring secara berkala dilakukan oleh CI di perairan Papua Barat menyimpulkan bahwa populasi Hiu Berjalan berada dalam ancaman karena daerah sebaran yang terbatas daripada perkiraan sebelumnya.
Akibatnya, spesies unik ini lebih mungkin terpapar terhadap ancaman setempat seperti penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab, tumpahan minyak, peningkatan suhu, bencana seperti angin siklon dan tsunami, dan lainnya.
Pakar hiu dari LIPI, Fahmi, dalam siaran persnya ke Beritagar.id, menjelaskan bahwa sebaran Hiu Berjalan yang terbatas antara lain disebabkan karena memiliki sifat biologi yang unik, tidak seperti spesies ikan terumbu karang lain.
Kelompok ikan hiu ini memiliki kemampuan berenang yang terbatas dan amat tergantung pada habitat dan kedalaman tertentu sehingga tidak sanggup bergerak jarak jauh dan tidak memiliki potensi sebaran yang tinggi.
Selain itu, tipe reproduksi dari kelompok hiu ini tidak biasa. Mereka meletakkan telur-telurnya pada substrat tertentu untuk kemudian menetas dan berkembang menjadi menjadi individu dewasa pada habitat yang sama.
Fahmi menambahkan bahwa hasil temuan ini akan dikomunikasikan kepada pemerintah daerah sebagai pengelola kawasan pesisir untuk mendorong perlindungan bagi spesies hiu berjalan di Indonesia.
“Sejauh ini, baru spesies Hemiscyllium freycineti yang ada di Raja Ampat yang dilindungi oleh Perda Raja Ampat No. 9 Tahun 2012 mengenai Larangan Penangkapan Ikan Hiu, Pari Manta, dan Jenis-jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Raja Ampat,” ujarnya.
Saat ini kelompok Hiu Berjalan merupakan kelompok ikan hiu yang sering dijadikan ikan hias dan memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional. Beberapa negara maju bahkan sudah melakukan upaya budidaya spesies hiu berjalan untuk kepentingan komersial.
“Jangan sampai jenis hiu tersebut banyak ditemukan di akuarium-akuarium ikan hias namun sulit ditemukan di habitat aslinya,” tutup Fahmi.(***)
Click here to preview your posts with PRO themes ››