Sikap ‘malah stau,’ atau tak mengacuhkan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) dalam kerjasama pemerintah dan pemerintah provinsi dengan pihak ketiga melanggar UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus, pasal 20 ayat 1 huruf d.
Ini ditegaskan Ketua MRPB, Maxsi Ahoren, saat jadi salah satu pemateri dalam talkshow Papua Barat sebagai provinsi pembangunan berkelanjutan di sebuah hotel di Jakarta, Rabu (27/11/2019).
“Selama ini tak ada pemberitahuan sama sekali kalau ada inevstasi yang akan masuk ke MRPB,” ujar Ahoren yang tampil bersama Asisten Deputi Pendidikan dan Pelatihan Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Dr TB Haeru, Dirjen KSDAE Kementerian LH dan Kehutanan Wiratno, Sekprov Papua Barat Nataniel D Mandacan, Ketua DPR PB Orgenes Wonggor, dan Sekretaris LMA PB George Dedaida itu.
MRP mempunyai tugas dan wewenang:
Memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.
UU Nomor 21 Tahun 2001
Pasal 20 ayat 1 huruf d
Ahoren juga menegaskan jauh sebelum Deklarasi Manokwari dicetuskan dan Perdasus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan digaungkan dan disusun, MRPB sudah melakukan berbagai upaya nyata bagi kehidupan manusia Papua, dan menjadikan SDA Papua sebagai modal dan aset penghidupan manusia Papua antar generasi.
Hal tersebut, antara lain, melakukan kajian penyusunan profil suku dan peta indikatif wilayah adat di beberapa kabupaten, dan mengusulkan kegiatan yang sama yang telah dimasukkan dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2020.
“Profil suku dan peta indikasi wilayah adat suku menjadi data penting dalam pelaksanaan pembangunan di Papua Barat, karena wilayah-wilayah konservasi dan sumberdaya hayati di dalamnya ada di wilayah adat milik masyarakat adat,” tegasnya.(dixie)
Click here to preview your posts with PRO themes ››