Oleh: NN
Hening, menuju sunyi. Sekarang aku senang dengan keheningan. Tanpa suara-suara yang membuat telinga terus bekerja. Suara hati tertimpali dan kejenuhan akan menghampiri. Suara anak-anak yang beranjak remaja dan cerewet bapaknya seperti suara asing yang makin menggelitik hati dan selalu berharap gelap akan menyelimuti dan semua akan terlelap dalam mimpi yang berarti memberiku kesunyian.
Sejak kapan aku jatuh hati dengan sunyi aku kurang begitu mengingatnya. Aku jadi lebih suka menyimpan semua ceritera dalam diam, cerewetku untuk anak-anak juga turut menghilang, cukup sekali bicara dan setelah itu cukup kediamanku yang membuat mereka segan. Cukup dengan menatap mereka, mereka jadi mengerti apa yang kumaksud.
” Mama cukup sekali ngomong, tidak perlu diulang” kataku ke mereka.
” Hargai orang lain sebagai manusia normal. Jadi cukup berbisik dan bicara pelan. Jangan anggab orang yang kalian ajak omong tidak normal pendengarannya, sehingga harus berteriak-teriak” kataku menegaskan.
Aku tidak tahu kenapa telingaku begitu sensitif dengan suara yang keras apalagi mengarah keramain. Aku ingin semua berjalan dengan keheningan. Aku juga jengah bila sekitarku ngrumpi apalagi ngomong melantur tak ada ujungnya. Menurut pendengaranku seperti lebah-lebah yang berdenging mengitari sarangnya.
“Orang hidup itu perlu bicara dengan orang lain, apa yang kau inginkan, harapkan agar orang lain bisa berlaku tepat denganmu. Diam tidak akan memecahkan masalah apapun yang kau hadapi. Selagi menjadi manusia komunikasi itu perlu….” kata bapaknya anak-anak mengingatkanku.
Tapi kata-katanya seolah angin lalu bagiku.
Aku makin menggilai kesunyian. Aku ciptakan kesunyian dengan caraku sendiri dimanapun aku berada. Keributan di rumah, di tempat kerja dan dimanapun bisa kuhindari dengan diamku dan kubangun anganku untuk terbang menuju dunia sunyi. Aku akan menghindar dengan asyik mengupas sayur, merapikan dapur ataupun lemari demi lemari yang ada di rumah. Aku bisa asyik membenamkan diri dengan membaca ataupun kerja lain demi mencari keheningan.
Dalam keheningan, aku bisa berkomunikasi dengan diriku sendiri, pikiranku bisa saling beragumen tanpa harus melibatkan orang lain. Tidak ada pertengakaran ataupun sakit hati karena dialog antar pribadi. Aku lebih senang membaca sambil menunggu sesuatu kemudian mensharingkannya dengan diriku sendiri. Aku selalu berusaha tidak kontak mata dengan orang sekitarku bila sama-sama dalam status menunggu. Itu akan menyelamatkanku dari basa-basi yang akan menjeratku dalam pembicaraan yang menyiksa. Aku juga asyik membangun opini sendiri terhadap apapun yang aku hadapi. Bila ke mall bersama keluarga, mereka akan asyik mencari kebutuhan masing-masing, dan aku asyik melihat-lihat yang menarik perhatianku tanpa harus melibatkan siapapun dan ketika sales girl mendekatiku aku cukup tersenyum dan meninggalkannya. Dan berpindah ke tempat yang bisa membuatku asyik sendiri.
Hingga pada suatu hari saat aku asyik mengamati lukisan yang terpajang di lorong-lorong mall yang kami kunjungi, aku terbius dengan sebuah lukisan indah menyiratkan kesunyian yang dalam.
“Huuuuh……” Ada helaan nafas di sampingku. Sejenak bulu kudukku merinding, ada sesuatu yang tidak biasa dengan lenguhan itu, kucoba menengok namun tak seorangpun di dekatku. Akupun melanjutkan keasyikanku menjelajah sapuan-sapuan kuas yang memberiku visi telaga kehijauan yang indah di depanku. Aku bisa merasakan halusnya sapuan kuas itu, dan seketika aku bisa membayangkan tangan yang menggerakkan kuas itu menari memainkan warna dan menggoreskannya di kanvas. Pelukisnya pasti pemuja keindahan namun kesepian. Mungkin dia bukan dari keindahan itu sendiri maka menciptakan sesuatu yang indah terbalut sunyi untuk meluapkan kerinduannya akan keindahan. Mungkinkah dia ingin lari dari dunianya dan ingin hidup dalam dunia ciptaannya? Ada kepedihan yang terlihat dari garis-garis yang tergores dan saat aku mulai menelusuri detailnya, kutemukan nama pelukisnya….Kent. sepertinya nama itu bagian dari memoriku.
“Memang benar aku pemuja keindahan karena aku bukan berasal dari yang indah” ada desah yang terjerat telingaku. Secara reflek kutoleh orang disekitarku, ternyata banyak orang yang mengagumi lukisan itu, memang ada daya magis bila menatapnya. Tapi siapa yang bicara. Di sampingku wanita muda asyik berkicau tentang lukisan itu dengan temannya, dibelakangku pemuda tanggung tengah menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal karena teman wanitanya nyerocos bicara sambil menunjuk- nunjuk. Tidak ada tanda-tanda yang mengarah pada sumber suara. Mungkin yang bicara sama orangnya yang membuang nafas tadi. Segera kutepis keinginanku untuk tahu siapa yang bicara itu dengan kembali ke dunia sunyiku sambil mengurai garis-demi garis yang dibuat si Kent dalam lukisannya.
Aku mulai ditarik lebih dalam oleh keheningan. Tubuhku serasa melayang memasuki lukisan itu. Sebuah telaga kehijauan ditegah rimbun pepohonan, tidak ada satupun satwa ataupun manusia dalam lukisan itu, hanya angin yang bertiup menerbangkan dedaunan yang saatnya lepas dari rantingnya. Aku merasakan kesejukan desau angin itu, hijau yang dominan memberiku ketenangan yang dalam dan mulai tercium bau khas tanah dan rerumputan.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
“Jangan masuk dalam duniaku, tidak akan indah lagi jika kau memasukinya, kau hanya akan memecah kesunyian sehingga lukisan ini akan kehilangan keindahannya.”
Aku tersentak, dan aku kembali pada situasi mall yang bingar. Suara itu begitu jelas di telingaku dan kuedarkan pandangan mataku kesegala arah. Tidak ada yang bicara denganku. Dan tak lama lengan kekar suamiku dengan lembut menghalauku untuk pulang. Sejenak kutatap lukisan itu menanamkan lebih dalam ke memoriku setiap detailnya. Dan kami beranjak pulang.
Entah mengapa, aku seperti gadis belia yang selalu membayangkan kekasihnya sepanjang waktu. Setiap detik apa yang aku kerjakan setelah itu, selalu terbayang akan lukisan Kent. Sepertinya itu hanyalah lukisan biasa yang banyak sekali ditemukan di pelosok dunia. Tidak ada yang special dengan lukisan itu yang bertema telaga di tengah rimbunnya hutan hijau. Siapapun sanggup melukisnya, tapi ada kuasa lain yang membuatku selalu mengingatnya. Malam setelahnya aku tidak bisa memejamkan mata, dalam setiap gerakku selalu dibayangi dengan teduh dan sunyinya. Hijau kebiruan refleksi di atas danau seakan menarikku untuk terjun dan menyelam ke dasarnya. Tidak hanya menikmati kesegaran untuk menghilangkan kegerahan namun ingin tinggal di dalamnya, menapak dasarnya untuk mendapatkan sumber kesunyian yang mengakar di dasar itu. Desau angin yang terdengar dan sempat menyentuh kulitku begitu menggairahkanku. Membuat bulu kudukku merinding dan memberikan sensasi liar yang ingin kudapatkan. Gemerisik lembutnya yang menyentuh dedauanan dan menggugurkan yang purna tugas, seakan memudakan gairahku kembali untuk mengarungi dunia baru. Dunia yang sekarang begitu kucintai dan kugilai, kesunyian.
Dunia baru ini membuatku terbelah, separuh diriku hidup dalam dunia manusia nyata, aku menjalankan peran sebagaimana manusia biasa. Dan separuhnya aku mulai jauh menelusuri dunia yang bertolak belakang yaitu kesunyian, keheningan yang bening tak tercemar sedetikpun. Dan aku berloncat-loncatan hidup di dua dunia ini.
Tak tahan menahan kerinduan yang dalam dan seakan aku dapat memuaskannya hanya dengan melihat kembali lukisan itu, akhirnya kukerahkan dayaku untuk melihatnya lagi. Bergegas aku menuju lorong itu, dadaku mulai berdegub dan nafasku mulai memburu. Ada gairah yang luar biasa menggerakkan semua sendi tubuhku untuk mencapainya.
“Maaf ibu, lukisan yang ibu maksud diambil lagi oleh pemilliknya, karena pelukisnya ingin menebusnya kembali” kata gadis cantik yang duduk di depan meja yang dipenuhi dengan katalog lukisan yang dipamerkan. Kekecewaan seakan tajam menusuk jantungku, perih….. aku tidak bisa berkata, hanya pikiranku yang lari jauh mencari pemillik yang akan menyerahkan kembali ke pelukisnya.
“Mungkin ibu masih ada kesempatan untuk bertemu dengan pemiliknya, baru saja lukisan tersebut dibawa ke ruangan kami untuk dikemas. Ibu bisa…….” Tanpa melihat wajah gadis manis itu, aku tengadah dan mendengarkan arahannya, mengangguk ketika kudapat informasi pentingnya dan melesat menuju informasi itu. Aku harus melihatnya lagi, harus dan harus. Sepertinya aku akan menemukan kerinduanku selama ini.
“Tunggu…….” teriakku saat beberapa orang mulai menutup lukisan itu. Sekilas aku melihat seorang wanita setengah baya memberi instruksi untuk mengemas lukisan itu dan seorang lelaki seumurannya duduk di kursi roda seolah ingin meloncat dan menggapai lukisan itu. Tanpa banyak bicara aku rentangkan kedua tanganku menghalau orang-orang yang mengerubutinya. Seakan terbius dengan teriakanku yang lama terbenam dalam sunyiku, atau karena getar putus asaku, mereka tersentak dan diam membelalakiku. Aku tak peduli dengan mereka, aku mengamati lukisan itu dengan bersimpuh didepannya. Mataku menelanjanginya dengan puncak gairahku.
“Jangan, jangan memasukinya…. aku yang berhak atas lukisan itu, aku penciptanya. Kau ciptaan lain bukan ciptaanku….” suara yang mendesah itu meyakinkanku. Aku tahu sumber suara itu, kutoleh lelaki di atas kursi roda sejenak, meski wajahnya penuh kecemasan aku tak tergoyahkan. Dan kembali kutatap lekat lukisan itu, tak peduli dengan Kent, sang pelukis dan orang-orang yang mulai berkerumun. Aku memiliki keluarga yang sempurna, seorang suami yang mencintaiku lebih dari seperempat abad dan anak-anak yang nyaris sempurna. Aku selalu berkelimpahan. Namun sunyi itu, yang selalu membiusku dan sunyi dibalik indah lukisan itu, membakar gelegak jiwaku untuk memeluknya erat dan menjadikan diriku menjadi bagiannya. Dan aku menemukan jawaban kegelisahanku selama ini. Maaf Kent ternyata aku adalah ciptaanmu yang meloncat ke dunia lain saat kau lengah menyempurnakan lukisanmu. Dan aku tahu dimana seharusnya aku berada. Kupejam mata dan kubiarkan titik-titik yang menjadi garis yang akhirnya sambung menyambung membawa warna menguraiku perlahan menjadikanku terikat erat dalam jalinannya. Dan tangan Kent tak mampu lagi menghalangiku untuk meloncat, menyelam dengan kecerian menuju dasar telaga yang makin menghitam dan tentunya makin sunyi, sunyi yang abadi.(*)
Jakarta, 14 Maret 2012.