Sayur mayur masuk kelompok inflasi volatile food (barang bergejolak). Harganya yang naik dan turun dengan cepat sangat mempengaruhi perekonomian.
Maklum, komoditas ini sangat tergantung pada berbagai hal, salah satunya perubahan cuaca dan hama.
Hal ini coba diantisipasi dan diatasi Bank Indonesia melalui penguatan petani melalui kelompok tani.
Salah satunya dilakukan BI perwakilan Papua Barat di Kampung Desay (SP2) Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari melalui program rumah kasa.
Dalam kunjungan ke percontohan rumah kasa di sana, Kepala Perwakilan BI Papua Barat, Agus Hartanto, bersama rombongan pekerja pers melihat langsung realisasi program tersebut.
Menurut Purwadi, Kepala Kampung Desay, program rumah kasa tersebut jadi contoh untuk memacu petani bertani secara modern.
“Kalau cuma diberitahu saja, banyak yang pesimis. Mereka mau contoh. Mau bukti langsung. Sekarang, dengan contoh rumah kasa ini, lengkap dengan tanamannya, peminatnya banyak sekali. Awalnya sangat sedikit yang berminat,” tuturnya pada pekerja pers di rumah kasa percontohan di belakang balai kampung Desay itu, yang turut dihadiri Kepala Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) Manokwari, M. Wira Adibrata, Minggu (12/3).
Saat melihat seledri yang ditanam di rumah kasa berukuran sekira 12 x 15 meter itu, wajar jika petani berminat. Dalam satu bedeng dari talang air dengan media tanam arang sekam campuran pupuk sesuai karakteristik akar tanaman, bisa dihasilkan 20 puluh ikat seledri. Ada ratusan bedeng di rumah kasa itu.
“Harga seledri di pasar normalnya Rp5 ribu per ikat. Satu bedeng ini bisa 20 puluh ikat tiap hari. Kita atur waktu tanamnya, panennya bisa tiap hari,” jelasnya, lalu menambahkan hama bisa dicegah dengan penggunaan kasa itu.
Click here to preview your posts with PRO themes ››
Selain seledri, dia juga menanam, antara lain, bawang merah dan selada.
Waktu penanaman, dan apa saja yang ditanam, melalui kelompok tani akan diatur. Dengan demikian akan diperoleh pasokan tanpa henti sayuran. “Sekaligus menjaga agar harganya stabil karena adanya kontinuitas atau kesinambungan pasokan tanpa memandang musim dan cuaca,” paparnya.
Program ini, jelasnya, merupakan bagian dari corporate social responsibility (CSR) perbankan.
“Ada program kredit Rp7 juta dalam dua tahun. Tiap bulan cicilannya sekira Rp400 ribu. Bayarnya bukan dengan uang, tapi dengan hasil tanaman itu. Tanaman yang dipanen kita jual. Hasil penjualan langsung dipotong dengan kewajiban cicilan kredit. Sisa hasil penjualan langsung ditransfer ke rekening masing-masing petani,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala BI Perwakilan Papua Barat, Agus Hartanto, menyatakan, BI hanya memberikan stimulus.
“Produksinya bisa disalurkan ke rumah makan, hotel, perusahaan besar yang butuh pasokan banyak seperti perusahaan semen di Maruni,” jelasnya.
Saat itu terwujud dan berlangsung mulus, maka ketahanan pangan terjaga. “Petani juga penghasilan cukup,” tandasnya.(dixie)