Rustam SH, kuasa hukum (KH) MHN,  salah satu tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan kapal Landing Craft Tank (LCT) Sorsel Indah di Sorong Selatan, menduga ada intervensi besar dalam penanganan kasus senilai Rp 4.404.787.000 itu.

Kepada awak media, Jumat (26/1) siang tadi, Rustam mengatakan, jika tidak ada intervensi kekuatan besar, sangat tidak mungkin jika kasus yang hanya Rp4.4 Miliar lebih ini dilimpahkan ke Bareskrim Polri.

“Dibanding 4 M, ada kasus yang lebih sulit dengan kerugian puluhan miliar seperti kasus KONI. Namun faktanya, Polda Papua Barat bisa menuntaskannya. Lalu bagaimana dengan kasus OI yang nyata terjadi di Papua Barat dengan anggaran yang hanya 4 M lebih? Kalau ditarik, berarti kan Polda Papua Barat dianggap tidak mampu,” ujarnya.

Dia lalu mengatakan, salut dengan Kapolda Papua Barat dan Dirkrimsus. “Saya kasih jempol buat Kapolda dan Dirkrimsus yang sudah menetapkan OI sebagai tersangka. Namun, kelanjutan dari penetapan tersangka itu yang menurut saya terdapat intervensi kuat, sehingga tidak ditangkap melainkan berkas di limpahkan ke Bareskrim Polri,” ujarnya.

“Dalam KUHAP,  tidak ada catatan tersangka dipanggil secara patut,  kecuali dia adalah saksi. Kalau bicara kesulitan kan bisa koordinasi dengan Bareskrim, tidak perlu dilimpahkan,” ungkapnya.

Singgung soal alasan pelimpahan lantarab domisili OI yang lebih sering di Jakarta, kata Rustam, itu ada benarnya. Namun jika melihat dari efisiensi anggaran, maka pelimpahan ini justru akan memboroskan anggaran kepolisian.

“Semua saksi di Papua Barat termaksud klien saya. Apakah mereka akan dipanggil semua ke Jakarta, ketimbang hanya panggil OI ke Papua Barat?” ungkapnya, lalu mengatakan, pelimpahan ini justru merugikan cliennya.

Soal lain, Rustam juga mempertanyakan bukti surat pelimpahan berkas dan tanda terima pelimpahan dari Bareskrim Polri.

Click here to preview your posts with PRO themes ››

“kalau memang sudah dilimpahkan, mana suratnya. Sebagai kuasa hukum dari MHN, saya patut mempertanyakan hal ini,” ungkapnya.

“Saya anggap ada kekuatan besar yang mengintervensi kasus ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa kasus ini akan tetap dilanjutkan oleh Bareskrim?” tanya dia.

Soalnya, kasus ini, kata Rustam, berdasarkan surat dan pengakuan kliennya, bahwa sebenarnya kapal LCT itu terlebih dahulu dibeli menggunakan uang pribadi kliennya, bukan anggaran pemerintah. Tapi pengoperasiannya justru menggunakan sistem bagi hasil.

“Kalau dibeli pakai uang Pemda berarti kapal menjadi aset Pemda. Tapi kenapa dikelola swasta oleh tersangka MHN, dengan pembagian 40 swasta : 60 Pemda,” beber Rustam lalu menunjukkan bukti surat perjanjian pengoperasian kapal tersebut.

“Surat perjanjian pengoperasikan kapal itu ditanda tangani OI,” bebernya lagi, lalu menyebut kalau pertama kalinya, LP atas  kasus ini masuk ke Polda Papua tahun 2014 dan saat Kapolda Papua Tito Karnavian.

Terpisah, Dir Krimsus Polda Papua Barat, Kombes Pol Budi Santosa belum bisa dikonfirmasi hingga berita ini diturunkan.  (njo)