Staf ahli Gubernur Papua Barat Bidang Kemasyarakatan, George C Auparay, mengatakan ibukota Kabupaten Maybrat berada di Kumurkek ditetapkan berdasarkan undang undang.
Selain itu, penentuan ibukota juga sudah dilakukan di awal proses pemekaran yang dikonsep oleh dua tokoh senior pemekaran.
“Bicara Kumurkek maka saya ada di dalamnya. Memindahkan ibukota sama seperti merampas istri. Taruhannya nyawa,” kata Auparay, saat menerima perwakilan masyarakat dan mahasiswa Aifat di Manokwari, yang menggelar aksi di Kantor Gubernur Papua Barat, Senin (28/5).
Auparay mengingatkan kepada masyarakat Maybrat di Manokwari bahwa apapun keputusan pemerintah pusat tentang letak Ibukota Maybrat, baik di Asmuruf maupun Kumurkek, itu tidak lain adalah sebuah keputusan di atas kertas.
“Itu hanya keputusan di atas kertas, bukan keputusan Al-Kitab dan Al-Quran yang tidak bisa kita ubah. Jadi, masyarakat jangan mengambil tindakan yang di luar aturan hukum,” pesannya.
Kalaupun nantinya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, masih ada cara lain untuk menyelesaikannya.
Dia lalu mengingatkan kepada masyarakat untuk mengurungkan niat untuk menimbulkan konflik.
“Rencana dan niat perang jangan dilakukan. Setelah ini kami lapor ke Gubernur dan sampaikan soal pertemuan ini,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Suku Aifat di Manokwari, Paulus Asem, S.Sos, mewakili masyarakat Maybrat di Manokwari, menyerahkan penyataan sikap ke Pemerintah Papua Barat.
Pernyataan sikap itu pada intinya menyatakan masyarakat mendukung proses tahapan dan kajian tim rekonsiliasi ibukota Maybrat, meminta agar ibukota Maybrat tetap di Kumurkek sebagaimana amanat UU, dan perlu ada pemekaran Daerah Otonom Baru yakni Kabupaten Maybrat Sau yang ibukotanya di Ayamaru agar tidak menimbulkan persoalan.
Soal DOB, Auparay mengatakan sudah pernah mengusulkan itu ke Kementerian Dalam Negeri untuk menghindari kecemburuan sosial antara Kumurkek dan Ayamaru.(njo)
Click here to preview your posts with PRO themes ››