Rendahnya Rasio Kemandirian Fiskal Daerah Papua Barat

Hersey dan Blanchard (dalam Halim 2007:169) mengklasifikasi rasio kemampuan fiskal daerah menjadi empat, yaitu :

(1) kategori rendah sekali (0% s.d 25%);
(2) kategori rendah (>25% s.d 50%);
(3) kategori sedang (>50% s.d 75%); dan
(4) kategori tinggi (>75% s.d 100%).

Menurut Mardiasmo (1999), terdapat dua manfaat adanya kemandirian fiskal, yaitu (1) mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta akan mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerah; (2) memperbaiki alokasi sumberdaya produktif melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah.

Manfaat inilah yang kemudian memotivasi daerah-daerah untuk berkompetisi meningkatkan PAD dengan cara mengoptimalkan sumber pendapatan yang telah ada, dan bahkan menciptakan peluang pendapatan baru melalui sumberdaya yang berpotensi di daerah.

Click here to preview your posts with PRO themes ››

Lalu, bagaimana Dengan Papua Barat?

Diketahui, hingga akhir Tahun 2018, LHP BPK Perwakilan Papua Barat berdasarkan LKPD Papua Barat Tahun 2018 tercatat bahwa struktur pendapatan dalam APBD Papua Barat masih didominasi oleh transfer Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus), yaitu sebesar 93,72 persen dari total pendapatan dan sisanya 6,28 persen dari PAD.

Untuk pendapatan yang bersumber dari transfer Pemerintah Pusat, Dana Otonomi Khusus memberikan sumbangan terbesar yaitu 54,84 persen, sedangkan Dana Perimbangan hanya 38,87 persen.

Menariknya, bahwa jika komponen pendapatan pada Tahun 2018 dikomparasikan dengan periode yang sama pada Tahun 2017, tampak bahwa pendapatan yang bersumber dari Transfer Pemerintah Pusat (total dana perimbangan dan dana Otsus) mengalami peningkatan sebesar Rp262.675.769.127,- atau naik 3,99 persen.

Transfer Pemerintah Pusat melalui Dana Otonomi Khusus (Otsus) memberikan sumbangan tambahan pendapatan terbesar, yaitu 22,73 persen.